Indonesia gagal

Target juara di Piala AFF 2014, lolos ke semifinal pun kemungkinan besar tidak. Pernyataan paling mudah dari federasi adalah, "kami akan mengevaluasi". Lewat akun twitter-nya, wakil ketua umum PSSI yang juga ketua Badan Tim Nasional, La Nyalla Mattalitti, menambahkan sedikit. "Bukan hanya sekadar evaluasi, tetapi PSSI akan mengambil langkah-langkah penting, nanti akan dirumuskan di rapat kerja PSSI.
Kita akan tunggu, apa sih langkah-langkah penting itu. Apakah nomor satu adalah berani memecat Alfred Riedl?
Kita tahu, PSSI terkesan takjub pada pelatih asal Austria itu. Ukurannya sangat mungkin adalah dia (sedikit) mengilaukan timnas Indonesia di Piala AFF 2010, yang notabene digelar di Jakarta, dan semua fans memberi dukungan sepenuh hati.
Tapi, kalau mau obyektif, apakah Riedl membawa Indonesia jadi juara? Tidak. Di sana pasukan "Merah Putih" hanya runner-up. Untuk sebuah "negara sepakbola", yang masyarakatnya sudah begitu kelaparan dan kehausan ingin melihat piala -- karena terakhir kali adalah SEA Games 1991, runner-up bukanlah piala. Apalagi, sekali lagi, kita adalah tuan rumah di Piala AFF 2010, dan kita tidak juara juga. Itu juga baru di level Asia Tenggara, kawasan internasional terkecil negara ini.
Semestinya tidak ada lagi kesempatan ketiga untuk Riedl. Dia sudah diberi kesempatan dua kali, dan yang kedua pun lebih buruk hasilnya. Kekalahan telak 0-4 dari Filipina adalah kejadian memalukan, mengingat dalam sejarahnya Indonesia tak pernah sekalipun dipecundangi oleh negara yang sepakbola bukanlah olahraga kesukaan masyarakatnya.
Mari mundur sedikit ketika Riedl dipecat oleh federasi pada pertengahan 2011. Kala itu PSSI baru berganti rezim, usai terpilihnya Djohar Arifin sebagai ketua umum PSSI, dalam sebuah "pertarungan politik" di antara dua kubu: Arifin Panigoro dan Bakrie.
"Ini sport political decision. Saya korban pertarungan PSSI lama dan PSSI baru. Oh bukan, saya ini korban Mr. Bakrie versus Panigoro," kata Riedl (detiksport, 15 Juli 2011)
Setengah tahun sebelum itu, Riedl pun sudah merasakan aroma politik dalam sepakbola Indonesia. Ia pernah gusar ketika timnas yang masih bertarung di Piala AFF 2010, dijadikan sebuah komoditas "sirkus", sampai-sampai dibawa ke rumah ketua umum Partai Golkar, Abu Rizal Bakrie.
"Saya tidak menyalahkan media. Harapan masyarakat sangat tinggi. Pengurus sepak bola, pejabat, semuanya. Banyak hal-hal yang tidak perlu yang kita lakukan,” kata dia